Amuk…
Suara Muhammadiyah edisi No. 03/TH. Ke 97, 1-15 Februari 2012, dalam sampul depannya mengangkat tema AMUK KOMUNAL CERMIN, TOLERANSI PURA-PURA. Tema diangkat dari peristiwa konflik antarumat Islam di Sampang. Dalam peristiwa tersebut terjadi pembakaran rumah, masjid, dan pesantren Syiah di Omben, Sampang, Madura. Apakah ini dipicu oleh isu kultural atau theologikal?…maka silakan rekan-rekan semua mencermatinya. Pada kesempatan ini saya hanya ingin memaparkan istilah yang digunakan yaitu amuk dan melihatnya secara umum dari perspektif psiko-sosial kita dalam berbangsa dan bernegara.
Istilah amuk berasal dari kosakata bahasa Indonesia (dulu: Melayu) dan diadopsi dalam kamus Bahasa Inggris amok. Artinya sama dengan dalam bahasa Indonesia yaitu mengamuk ataupun bahasa jawa:amuk-ngamuk. Sebuah keunikan dalam berbahasa. Kebalikan dari kebanyakan, yaitu istilah bahasa Indonesia seringkali mengadopsi kosakata bahasa inggris, sedangkan ini kata bahasa Indonesia diadopsi oleh bahasa Inggris. Dari yang saya pahami dari pembicaraan-pembicaraan para tokoh bahasa maupun sosial maka hanya ada satu kosakata ini yang diadopsi oleh bahasa Inggris dari bahasa Indonesia, kebetulan maknanya tidak baik…
Dalam artikel “Amuk” id.wikipedia.org, kata ini sudah digunakan di India sejak lama saat kolonial Inggris. Awalnya untuk menggambarkan seekor gajah gila yang terpisah dari kawanannya dan berlari liar dan menyebabkan kehancuran. Kata ini dipopulerkan oleh kisah-kisah dalam karya Rudyard Kipling, Rektor dari Universitas St Andrews di Skotlandia.
Ada pepatah “bahasa menunjukkan bangsa”, dari sini dapat dipahami terkait harga diri bangsa Inggris yang tinggi maka dalam bahasa Inggris sangat sedikit mengadopsi kosakata asing. Lalu apakah hal unik yang telah terjadi? apakah amuk/amuk massa bangsa Indonesia berbeda dengan bangsa lain? sehingga “mengesankan“ bangsa Inggris untuk mengabadikan dan mengadopsi kosakata amuk ke dalam bahasanya. Tidak ada bedanya bukan…?, masyarakat yang mengamuk tidak hanya bangsa Indonesia saja, bangsa manca pun bisa ngamuk membabi-buta tidak karuan.
Tetapi memang sebuah ironi atau luar biasa? kalau bangsa ini (yang dikenal atau terkenal dengan keramahtamahannya) bisa jadi gampang mengamuk. Apa yang menyebabkan?, menurut Prof. DR. Sarlito Wirawan Sarwono, psikolog ada tiga jawaban terhadap kemungkinan banyak amuk massa di Indonesia.
Jawaban pertama, karena selama 32 tahun kita dikekang tirani Suharto, benarkah?. Nanti dulu… kosakata amuk sudah ada sejak jauh sebelum era-nya, jadi ada kemungkinan bukan ini jawabannya.
Jawaban kedua, paling pesimistik berdasarkan teorinya Lombrosso. alam teorinya dinyatakan bahwa orang yang terlahir jahat, selamanya akan jahat. Berarti bangsa Indonesia dari dulunya sudah pengamuk (dan pura-pura saja baik hati), sehingga sampai kapanpun akan pengamuk. Bahkan ada yang menambahkan dengan bakat-bakat jelek lainnya: pemalas, pemboros, gila hormat dsb. Bangsa yang seperti ini, tanpa provokator pun akan setiap saat bisa mengamuk, apalagi kalau dikompori oleh provokator (wa la dalah…!?).
Jawaban ketiga merupakan jawaban yang lebih realistik dan optimistik. Secara sosiologis bangsa Indonesia masih terlalu banyak kelas bawahnya (kurang berpendidikan, pekerja kasar atau pengangguran, miskin). Berarti masih terlalu sedikitnya kelas menengah-atasnya (berpendidikan menengah ke atas, karyawan staf, pemimpin atau manajer, penghasilan jauh di atas UMR). Kelas bawah, kata sosiolog, memang cenderung kurang rasional, lebih emosional dan kurang paham hukum, sementara kelas menengah-atas lebih taat hukum, selain karena mereka lebih berpendidikan dan lebih rasional, merekapun membutuhkan system yang jelas dan keteraturan untuk bisa melaksanakan pekerjaan mereka sehari-hari. Menurut teori ini, jika bangsa Indonesia sudah mempunyai kelas menengah-atas maka dengan sendirinya bangsa Indonesia akan menjadi bangsa yang demokratis dan kerusuhan dengan sendirinya akan berkurang. Biar pun banyak provokator, bangsa yang seperti ini tetap akan aman dan stabil. (aan)