Kenangan KKN di Kubang, Wanayasa: “Makan Unjar”
Selama saya memandangi para mahasiswa KKN periode XXXVIII yang sedang upacara penerjunan di kantor kecamatan Nglipar, kabupaten Gunung Kidul, D.I. Yogyakarta, sejenak mengingatkan akan KKN saya di desa Kubang, kecamatan Wanayasa, Kab. Banjarnegara 14 tahun silam.
Wanayasa merupakan daerah dataran tinggi mencapai ketinggian 1.800 meter sehingga hawanya sangat dingin. Kebetulan saat penerjunan KKN di lokasi sedang hujan sehingga kami harus berjuang melawan dingin yang amat sangat. Kemudian kami pun harus ‘terkesan’ dengan ungkapan bapak pondokan KKN kami yang mengatakan: “Kalau hujan begini hawanya tidak begitu dingin mas…!”, hii… semakin tak terbayangkan dinginnya lokasi KKN kami. Dan benar adanya saking dinginnya sampai beberapa hari kami tidak pernah berani mandi pagi sebelum jam 09.00 pagi atau matahari telah menampakkan wujudnya. Di pagi hari kami banyak melakukan aktifitas di depan tungku perapian sambil membakar gethuk telo.
Di desa tersebut air sangat jernih dan melimpah sehingga selain untuk kepentingan sehari-hari, juga oleh beberapa warga dimanfaatkan untuk perikanan. Sistemnya mirip dengan empang, dibuat dibelakang rumah-rumah penduduk. Di atas kolam dibuat tempat mandi atap terbuka sekaligus untuk buang ‘hajat’. Dan ketika buang ‘hajat’ maka suara yang mengikutinya tidak hanya bunyi plung akibat jatuhnya ‘hajat’ yang kita buang, tetapi juga bunyi riuh kecipuk air. Unjar (sebutan daerah setempat untuk ikan air tawar apapun spesiesnya yang ada di kolam) akan saling berebut ‘hajat’ sebagai makanan cepat saji he.. he..
Dengan kenyataan unjar yang dikelola sedemikian tersebut maka kami kemudian menjadi miris-jijik untuk makan lauk ikan air tawar. Terbayangkan siklus makan yang sangat pendek: manusia buang ‘hajat’, hajat dimakan unjar, unjar dimakan manusia? dan seterusnya. Walaupun dapat diupayakan dengan pemeliharaan unjar dalam air jernih dalam beberapa waktu namun ya karena tahu persis kejadiaannya, sehingga sangatlah sulit menghilangkan perasaan miris-jijik tersebut. Sebagian dari kami pun, termasuk saya bertekad bulat untuk tidak akan mau makan dengan lauk unjar. Dan tampaknya bapak pondokan yang juga Kades Kubang saat itu mengetahuinya dan untuk menjaga perasaan kami masakan/hidangan yang dibuat seingat saya tidak pernah ada lauk unjar.
Suatu hari kami berkunjung ke rumah salah satu tokoh masyarakat. Kami disambut dengan hangat oleh tokoh tersebut. Karena kebetulan hari sudah siang kamipun kemudian dipersilakannya untuk makan siang. Semula kami menolak namun ajakannya yang hangat dan ramah membuat kami segan untuk menolak. Nah kebetulan di dalam menu yang dihidangkan lauk utama dan satu-satunya adalah ikan air tawar. Saya dan beberapa rekan KKN yang berkomitmen tidak akan makan unjar saling lirik untuk memutuskan ‘tindakan’ apa yang tepat. Dalam kebingungan tersebut salah stu teman yang tampaknya tidak miris-jijik terhadap unjar memulai lebih dahulu untuk mencicipi. Komentarnya setelah mencicipi lauk ikan tersebut: “iwake dudu unjar!” (ikannya bukan unjar, yang maksudnya bukan ikan tawar yang dipelihara dalam kolam “di belakang rumah”). “Yakin mbak?” tanya kami, jawabnya mantab:”Yakin, tidak bau unjar” dengan raut muka serius. Sontak kami lega dan turut menikmati lauk ikan tersebut. Di tengah-tengah kami menikmati makan siang tersebut, bapak tuan rumah pun berujar: “Jangan ragu-ragu mas, mbak, habiskan saja lauk ikannya”. “Inggih, pak”, kami pun menjawab serentak dengan gaya malu-malu mau. Sampai kemudian bapak tersebut berujar: “Benar lho mas, wong ikannya di kolam belakang rumah masih masih banyak!” hek! kami tercemar…(aan).