Tumbuhan dalam Cekaman: Refleksi Ilmiah dan Amanah sebagai Khalifah Bumi
Oleh Etika Dyah Puspitasari S.Si., M.Pd. Dosen Program Studi Pendidikan Biologi
Perubahan iklim kini bukan sekedar isu global, namun nyata dapat kita rasakan. Hujan yang datang tidak menentu, musim kering yang lebih panjang, perubahan suhu yang kita rasakan tentu mempengaruhi kestabilan ekosistem. Di tengah perubahan lingkungan yang tidak menentu tersebut, tumbuhan sebagai fondasi rantai makanan menjadi pihak yan g paling awal merasakan dampaknya.
Adanya perubahan iklim ini, dalam ilmu fisiologi tumbuhan dapat menyebabkan suatu kondisi yang dikenal sebagai cekaman lingkungan (environmental stress). Cekaman lingkungan terbagi menjadi dua jenis besar yaitu cekaman abiotik dan cekaman biotik. Cekaman abiotik meliputi faktor-faktor non-hayati seperti kekeringan, salinitas (garam tinggi), suhu ekstrem, dan polusi logam berat. Sementara cekaman biotik berasal dari makhluk hidup lain seperti serangan hama, patogen, dan kompetisi antar tanaman. Kedua jenis cekaman ini mempengaruhi seluruh aspek kehidupan tumbuhan, mulai dari germinasi biji, penyerapan nutrisi, fotosintesis, hingga reproduksi. Karena tumbuhan berbeda dengan makhluk hidup lain, Ia tidak ”motil” (dapat berpindah-pindah) seperti makhluk hidup yang lainnya. Oleh Karena itu tumbuhan harus berusaha sedemikian rupa untuk tetap dapat bertahan hidup dalam lingkungannya. Tumbuhan merespon cekaman tersebut dengan berbagai mekanisme adaptasi baik secara biokimia, fisiologis, morfologi maupun molekuler. Sayangnya tidak semua tumbuhan memiliki kemampuan adaptasi yang memadai, sehingga dapat menyebabkan tumbuhan tidak dapat mempertahankan siklus hidupnya.
Perubahan iklim yang ekstrim ini merupakan dampak dari aktivitas kita (manusia), seperti tingginya penggunaan bahan bakar fosil, deforestasi, aktivitas industri, yang meningkatkan emisi gas rumah kaca dan menyebabkan pemanasan global, yang akhirnya berdampak pada perubahan iklim global. Padahal dalam Al Qur’an, Allah telah mengingatkan “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)’’ (QS. Ar Rum: 41). Kerusakan yang telah tampak ini tidak hanya berpengaruh pada diri manusia langsung namun berdampak utama pada kelangsungan hidup makhluk hidup yang lain, salah satunya adalah tumbuhan. Hal tersebut juga telah diingatkan pada Al Qur’an, ”…dia berusaha untuk berbuat kerusakan di bumi serta merusak tanam-tanaman dan ternak, Allah tidak menyukai kerusakan” (QS. Al Baqarah: 205). Padahal Allah menciptakan manusia sebagai khalifah, ”Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam” (QS. Al Anbiya: 107). Menjadi khalifah di bumi berarti manusia memegang amanah untuk mengelola dan melestarikan bumi dan isinya bukan merusaknya.
Perubahan iklim bukan sekadar pergeseran cuaca, melainkan sinyal dari bumi bahwa keseimbangannya terganggu. Di antara semua makhluk, tumbuhan menjadi saksi paling awal sekaligus korban paling senyap dari krisis ini. Ketika daun layu sebelum waktunya, ketika benih gagal tumbuh, sesungguhnya rantai kehidupan tengah rapuh. Namun di balik tantangan, manusia memiliki peran sebagai khalifah, bukan perusak, melainkan penjaga kehidupan. Melalui riset dan inovasi yang berakar pada kearifan alam, kita berusaha menebus sebagian kelalaian kita terhadap bumi.
Salah satu hal yang dapat kami lakukan sebagai bagian dari tanggung jawab menjadi khalifah di bumi adalah dengan melakukan berbagai riset terkait pemanfaatan bahan alam sebagai pestisida alami bagi tumbuhan. Pemanfaatan pestisida alami diharapkan mampu membantu pertumbuhan tumbuhan khususnya tanaman pangan agar tetap mampu menyelesaikan siklus hidupnya dengan adanya cekaman biotik berupa hama dan patogen tanaman. Selain itu juga dilakukan kolaborasi dengan teknik elektronika dan teknik informatika untuk mengembangkan alat yang untuk mendeteksi stress tumbuhan karena adanya cekaman biotik maupun abiotik.

Langkah kecil di laboratorium hari ini, kami harap dapat menjadi nafas panjang bagi ekosistem esok. Karena menyelamatkan tumbuhan berarti menyelamatkan seluruh kehidupan di atas bumi dan memenuhi amanah kita sebagai rahmat bagi semesta alam.



